Selasa, 24 Maret 2009

Menanti Telepon


Pandangan mata Boni tak juga beralih dari telepon yang terletak di atas meja. Kalau tak salah, sekarang tanggal 28 Oktober. Hari yang dinanti. Apakah mungkin dia salah baca? Segera, Boni berlari menuju kamarnya. Pintu kamar ditutup keras. Suara Mama di dapur mengingatkan Boni untuk menutupnya pelan-pelan. Boni berteriak minta maaf dari kamar.
Tangan Boni sibuk membolak-balik tumpukan kertas yang ada di atas meja. Kini, kamar Boni seperti terkena puting-beliung. Berantakan. Tiba-tiba pintu kamar dibuka. Mama datang dan memandang suasana kamar Boni dengan mata terbelalak.
”Oh, Mama..jangan marah dulu. Ada kertas penting yang Boni perlukan. Sekarang Mama balik lagi aja ke dapur, deh! Nanti kalau Boni sudah selesai menata, Mama boleh balik ke sini lagi.” Boni memegang tangan Mama dan menuntunnya ke luar kamar. Belum sempat Mama berbicara, Boni sudah menghilang ke kamar dan menutup pintunya. Kali ini lebih pelan.
Boni bingung. Di mana dia menaruh kertas itu, ya? Sekarang, Boni merasa benar-benar telah teledor. Karena capek dan tak yakin akan menemukannya, Boni memutuskan untuk tak lagi mencari kertas itu. Nanti juga ketemu sendiri, pikirnya. Beberapa waktu sebelum Mama melakukan kunjungan mendadak ke kamar, Boni telah membereskan semua kekacauan di kamarnya.
”Kamu cari apa, sih, Bon?” tanya Mama sambil melihat ke sekeliling kamar yang sekarang sudah rapi.
Ah, bagaimana Boni harus menjelaskan pada Mama jika dia mencari selembar kertas. Bukan sembarang kertas! Kertas berisi informasi mengenai lomba menulis yang dia ikuti. Di kertas itu, ada informasi kapan pengumuman pemenang lomba akan disampaikan kepada para peserta lomba. Selain itu, ada alamat dan nomor telpon yang bisa dihubungi untuk mengetahui apakah seorang peserta menjadi pemenang dalam lomba itu.
Mama mengangguk-angguk mendengar penjelasan Boni, lalu berkata, ”Mama senang kamu mengikuti lomba itu. Dan, hei, kalaupun kamu belum menjadi pemenangnya, tidak apa-apa. Sudah bisa dan berani menulis itu adalah permulaan yang bagus. Jika sering berlatih menulis, maka kamu akan semakin lihai dan terampil. Siapa tahu jika besok ada lomba menulis lagi, dan kebetulan kau mengikutinya, maka kau bisa menjadi salah satu pemenangnya?”
Boni menggaruk-garuk kepalanya. Oh, seandainya Mama tahu. Ini bukan yang pertama kalinya Boni mengikuti lomba menulis cerita. Dari sekian lomba, selama ini Boni lebih sering was-was menunggu telepon berdering. Mengapa belum ada satu telepon pun untuk Boni?
Suara telepon berdering mengagetkan Boni. Mama telah mengangkatnya. Jantung Boni semakin berdetak kencang. Akhirnya tiba juga telepon itu! Segera, Boni berlari dan merebut gagang telepon dari tangan Mama.
”Iya, Boni Prasetya di sini. Ini dari siapa, ya?” tanya Boni bersemangat.
Oh, ternyata Nyoman yang telepon.... mengabarkan pada Boni bahwa dirinya menang lomba menulis. Boni merasa lemas tapi mencoba tetap ceria dan tak lupa mengucapkan selamat kepada Nyoman. Mama tak henti memandang Boni yang saat ini tengah melamun.
”Bon.....”
Boni menengok ke arah mama.
“Apa kau akan berhenti menulis cerita, dan tak akan lagi mengikuti lomba menulis jika kau tak juga menerima telepon bahwa kau menjadi salah satu juaranya?”
Boni diam, menimbang-nimbang perkataan Mama. Apa sebaiknya begitu? Rasanya capek menunggu telepon terus. Sayang juga kalau tak mau menulis gara-gara tak pernah menang lomba. Karena, Boni mulai menyukai kegiatan tulis-menulis. Dia menjadi bebas mengekspresikan semua pikiran dan perasaannya. Dia bisa menulis semua pengalamannya. Tapi, buat apa menulis jika tak pernah jadi pemenang?
Boni ingat, saat ini buku tulisnya telah penuh dengan coretan-coretannya. Coretan yang dibuatnya ketika dia merasa sedih, senang, kecewa, marah, atau penasaran pada semua hal yang ia temui. Pada Papa yang tak jadi mengajaknya berlibur ke Ancol. Pada Bu Guru Anik yang memberinya hadiah bolpoin dalam kuis di pelajaran sejarah. Pada Syam yang saat ini mewakili sekolahnya dalam Olimpiade Fisika. Pada cerita dan pengalaman Nenek yang baru saja pulang dari tanah suci Mekah.
Apakah Boni akan meninggalkan pena dan membiarkan bukunya kosong tak ada coretannya? Rasanya sungguh sayang. Boni menggeleng. Aku tidak boleh menanggalkan pena.
”Tidak, Ma..... Boni tak akan berhenti menulis. Meski Boni belum juga menerima telpon dari panitia lomba,” bisik Boni.

Senin, 23 Maret 2009

Prayitno


Dear All,

Saya punya cerita inspiratif banget. Ini saya peroleh dari milis asuhannya bu Pangesti. Beliau dapat dari milis tetangga. Entah, tetangga yang mana. Hihi... Jadi, cerita ini telah mengalami proses yang panjang untuk masuk ke blog ini. Anyway, ceritanya sangat inspiratif. Silakan disimak.



Alkisah ada seorang engineer bernama Prayitno,ST yg bekerja di pabrik manufaktur elektronik Jepang, ni orang baru aja lolos tes perusahaan BUMN yg mengelola gas alam (jelas gede duitnya) dan mau resign, berikut:
Ini perdebatannya dengan manajernya kita singkat aja ya, manajer = M, dan prayitno = P

M = edan kowe yo prayitno, lagi S-2 dah mau resign, dimana morality kamu?

P = morality saya ikut berlari bersama morality perusahaan, yg nyuruh karyawannya lembur2 melebihi aturan pemerintah ampe sakit tapi tunjangan kesehatan gak full

M = sebenernya mau kmu apa? dimana-mana kerja itu sama. Saya udah menjalani 2 company sebelum ini

P = karena kerja dimana2 itu sama, makanya saya gak ragu resign pak, wong sama aja kok, cuma rewardnya yg beda tho.... ya saya pilih yg rewardnya lebih

M = yg bener itu kerja bener dulu baru naik gaji, bukan gaji naik dulubaru kerja bener.

P = kerjanya sama2 bener tapi yg satu ngasih gaji lebih tinggi, ya sayapilih yg lebih tho pak.

M = kenapa kmu gak mencoba profesional disini aja, klo alasannya reward,kan nanti karir serta salary kamu juga bakal naik kalo kamu bertahan

P = kenapa saya harus nunggu, klo ada company yg nawarin itu skarang?

M = tapi sayang sekali, saya pandang kmu yg paling berpotensi diantarayg lain

P = bapak udah ngomong gitu ke semua engineer yg resign sebelum saya

M = tidak, ini serius, kmu memiliki potensi besar, disini kmu bisa sukses! daripada kmu memulai lagi dari bawah di company lain yg blum ketauan ntar disana kmu bakal sukses ato gak

P = disini juga sama aja saya blum tau bakal sukses apa gak, wong namanya masa depan kok. Sama2 gak ketauan, tapi yg satu awalannya lebihbaik, ya pilih yg lebih baik dunk......

M = maksud kmu lebih baik itu apa? money? uang itu bukan segala2nya

P = klo emang begitu ngapain company costdown gaji saya, apa artinya uang segitu untuk mempertahankan eksistensi engineer

M = Kta kan tidak hanya mengejar uang. Klo orientasi kmu hanya uang, kmuhanya mengejar "live". No difference with kambing, Bekerja hanyauntuk bertahan hidup, Kmu itu engineer!!!! harus berorientasi pada yg lebih mulia, bekerja untuk berkarya, untuk mengembangkan diri

P = saya pengennya seperti itu, makanya saya resign. Gimana saya mau lepas dari orientasi "live" klo tiap bulan saya harus pusingmikir bayaran kos, pulsa, makan, ngirim ortu, nabung buat merit. Naaaa skarang ada companyyg nawarin itu, salary yg membuat saya tenang, tak berpikir lagi tentang"live exixtency". So, boleh dunk saya ambil untuk menaikkan derajatpekerjaan saya

M = prayitno.... klo kmu ngejar yg lebih baik, gak akan abis2.... selaluada yg lebih baik. saya sudah mengalaminya di 2 company terdahulu

P = emang gak bakal abis pak.... karena itu, ngapain saya abisin disini?mending saya terus2an dapet yg lebih baik ampe brenti karena cape. lagian Bapak juga nyatanya bisa brenti kan ?

M = inilah yg membuat bangsa kta gak maju2. Oportunis. Orang jepang majukarena loyal

P = loyalitas tu kata2 pembenaran buat ngegaji orang dibawah level pendidikannya pak. Betul jepang itu maju. Tapi lihatlah, terjadi ketimpangan karir antara lelaki dan wanita. karena lelakinya gila kerjasemua, mereka jarang menemui anaknya, akibatnya istri2 mereka harus mengimbanginya, ngalah keluar dari kerja buat nambal waktu bapak yg hilang untuk anak2nya karena bokapnya lebih cinta kerja daripada mereka. Tanya deh cewek jepang, lelaki jepang tu paling gak romantis. Ce bawa tas berat aja dicuekin

M = tapi dimana responsibility kmu?

P = responsibility tu apa pak? perasaan dulu saya pernah punya, pas awal2 masuk disini, tapi kata2 itulah yg dijadikan pembenaran untuk menindas saya. Atas nama responsibility, saya mengorbankan kesehatan untuk ketepatan schedule launching produk yg jelas2 merupakan percepatanuang masuk ke kantong pemilik saham. Betul, manusia harus punya responsibility. Apa responsibility paling utama? keluarga. Anak dan istri adalah amanah dari Yg Diatas.

M = kmu kurang bersyukur, masih banyak orang yg susah dapet kerjaan

P = saya dah diterima Pak, itu rejeki dari Yg Diatas, Klo gak saya ambil, itu yg namanya gak bersyukur. Yg Diatas itu tau kebutuhan kta. Makanya Dia memberi saya kerjaan baru, mungkin karena kebutuhan saya meningkat. Selain itu, Yg Diatas juga memberi pekerjaan pada satu orang pengangguran yg akan menggantikan posisi saya disini setelah resign

M = EDAN KOWE PRAYITNOOOOO! !!!! kalo gitu aku ikut kamu resign...... . ....

P = Ngga bisa pak.... kowe wis tuwo.Cuma bisa nunggu pensiun. ...


NB:

1. Biar bisa adu argumen sama atasan / HR wkt mau resign......

2. Biar bisa kasih argumen lain kalo ada karyawan yg mo resign..... (Mohon maaf bagi yg namanya Prayitno)

(Cat: Kisah di atas saya tampilkan sesuai aslinya, tanpa ada gubahan sedikit pun)

Pesta di Woodyland


Peri-peri berkerudung biru dari asrama Cyan tampak mondar-mandir. Masing-masing membawa baki berisi makanan. Dari roti coklat buatan Madam Roosie, hingga ayam panggang madu buatan Koki Maggi yang sangat terkenal itu. Dengan tongkat-tongkat mereka, baki-baki itu melayang dan dengan sendirinya tertata rapi di atas meja. Tetua asrama Cyan mengawasi semua kegiatan itu dengan senyum lebar.
Keriuhan Woodyland tidak hanya berhenti di asrama Cyan. Peri-peri di asrama Magent tak mau kalah. Mereka menyajikan buah-buahan yang sangat langka, baik dalam rasa maupun bentuknya. Ada buah naga emas yang bentuknya benar-benar seperti seekor naga dengan semburan api yang bisa keluar dari pangkal buahnya. Jika semburan naga betulan akan membuat para peri itu mengerdil, maka semburan buah naga emas sangat disukai para penduduk Woodyland. Mengapa? Karena semburan buah naga ini rasanya seperti gula yang disemprotkan dengan sedikit rasa asam. Selain itu, saat dikunyah dalam mulut, buah naga itu akan meledak-ledak lembut. Peri-peri kecil sangat menyukainya. Penduduk Woodyland pasti akan berterima kasih kepada peri-peri dari asrama Magent atas semua buah-buahan yang aneh dan enak itu.
Satu-satunya asrama yang tak melakukan persiapan pesta adalah asrama Blake. Peri-peri asrama itu selalu memasang muka cemberut dan murung. Satu-satunya keahlian mereka adalah menciptakan permainan-permainan yang hampir selalu membuat para peri bersungut-sungut sebentar karena selalu ada hukuman aneh dalam setiap permainannya.
Peri Phile dari asrama Cyan pernah mendapatkan hukuman bergelayut pada ekor naga Firy yang terbang ke angkasa. Tetua asrama Cyan, Moodie, pernah dihukum memakan buah Souri yang sangat asam dan berbau seperti cuka ratusan tahun. Anehnya, meskipun peri-peri asrama Blake hampir-hampir tak pernah ikut menyajikan kesenangan dalam pesta-pesta di Woodyland, kehadiran mereka sangat dinantikan oleh semua peri penghuni hutan tersebut. Permainan peri asrama Blake tidak membuat penduduk Woodyland sakit hati karena mereka tahu bahwa hukuman dalam permainan itu tak akan membuat mereka terluka.
”Celaka, Peri Moodie!”
Peri Luvey dari asrama Magent terbang dengan tergesa-gesa ke arah Peri Moodie. Peri Moodie menatap keheranan. Suara peri Luvey yang serak membuat Peri Moodie terpaksa memasang telinga baik-baik. Sesekali Peri Moodie memandang tak percaya pada Peri Luvey.
”Hem.... Benarkah?” tanya Peri Moodie.
Peri Luvey berbisik lagi. Kening Peri Moodie yang sudah berkerut semakin mengerut. Dengan suara yang menenangkan, Peri Moodie berkata pada Peri Luvey, ”Sekarang, kembalilah ke asrama. Persiapkan pesta ini dengan sebaik-baiknya. Jangan menceritakan peristiwa ini kepada peri-peri lainnya. Biar aku yang mengatasinya.” Dengan patuh, Peri Luvey bergegas menuju asrama Magent.
Peri Moodie tertawa sendiri mengingat cerita Peri Luvey. Apa tak salah yang didengarnya? Para Peri dari asrama Blake ingin mendapat tugas mengatur permainan yang menghibur dan menyenangkan, yang tak lagi menyebalkan dengan hukuman-hukumannya? Dengan mengibaskan tangannya, Peri Moodie telah menghilang dan sekarang berada di hadapan Peri Boldie, tetua asrama Blake.
”Oh, Peri Moodie. Aku sudah menyangka kau akan datang kemari. Luvey yang memberi tahumu, eh?” selidik Boldie. Peri Moodie tersenyum. Mereka berdua berbicara serius sekali. Namun, akhir pembicaraan itu tak sesuai yang diharapkan Peri Moodie. Peri Boldie dan peri-peri dari asrama Blake bersikeras tak mau lagi memberikan hukuman dalam permainan yang akan mereka gelar saat pesta malam nanti. Sebaliknya, mereka ingin memberikan hadiah-hadiah yang menyenangkan bagi para penghuni Woodyland. Bahkan, mereka telah menyiapkan telur-telur angsa berisi coklat-coklat buatan koki hutan Leafland. Wah, itu bisa jadi hadiah yang luar biasa!
Apa yang diinginkan peri-peri asrama Blake ternyata bukan main-main. Dalam pesta tahun ini, peri-peri Blake benar-benar menunjukkan keinginan mereka untuk memberikan hadiah-hadiah istimewa.
”Wah, seandainya peri-peri Blake baik hati terus seperti ini, ya? Pasti menyenangkan sekali. Lihat, muka mereka tak lagi berkerut-kerut! Wajah mereka cerah dan banyak mengumbar senyum,” kata Peri Dean sambil memegang bungkusan hadiah dari salah satu peri Blake.
”Yah.... pasti menyenangkan sekali. Tapi, oh, aku pasti merindukan kekonyolan dan kenakalan mereka,” celetuk Peri Vian. Beberapa peri lain menyetujui usul Peri Vian, tapi banyak juga yang setuju mereka tetap seperti ini.
Pesta malam itu adalah pesta terindah dalam Woodyland. Semua peri bergembira. Peri-peri Blake benar-benar telah menjadi para peri yang menyenangkan. Usut punya usut, ternyata sumber mata air di asrama Blake telah diberi ramuan Kindy oleh Peri Susan. Ramuan Kindy adalah sejenis ramuan ampuh yang bisa membuat watak seseorang menjadi sangat baik hati dan menyenangkan.
Usaha Peri Susan berhasil. Setidaknya untuk satu bulan ke depan, sesuai dengan kekuatan ramuan Kindy. Namun, jika peri-peri lainnya merindukan peri-peri Blake seperti semula, Peri Susan akan segera mencari penangkal ramuan Kindy.

Rabu, 18 Maret 2009

Mengubah Nasib dengan Pendidikan


Aku meyakini bahwa pendidikan dapat mengubah nasib orang. Bukankah kemerdekaan bangsa ini juga adalah hasil dari keringat para intelektual muda lewat jalur pendidikan? Aku meyakini semua orang bisa memperoleh pendidikan, jika bersungguh-sungguh mengusahakannya. Tak peduli meski dari keluarga tak mampu sekalipun. Siapa yang mengira dari keluarga buruh, seperti keluargaku, bisa memiliki anak yang sedang menempuh S3, menjadi kandidat doktor? Ini bukan mimpi.
Aku besar dalam keluarga pas-pasan. Kami lima bersaudara. Aku adalah anak bungsu. Ayahku menghidupi keluarga dengan bekerja sebagai sopir taksi. Ayah tidak memiliki mobil. Jadi praktis, dia hanya seorang buruh. Ibuku seperti layaknya ibu-ibu lain di tempat kampungku tumbuh, seorang ibu rumah tangga. Untungnya, ibu kadang mendapat sambilan dengan bekerja sebagai tukang jahit souvenir tepas (kipas) dari kulit. Tahun 1997, untuk 1 dusin kipas yang dijahit, ibu mendapat upah Rp 300, 00. Dalam satu hari, jika ada kipas kulit yang dijahit, ibu bisa mendapatkan upah antara Rp 6000 – Rp 9.000, 00. Pendapatan ini, meski pas-pasan, cukup untuk membantu ayah. Terutama untuk tambahan biaya pendidikan.
Dalam keluarga, hanya aku yang bisa meraih pendidikan sarjana. Kakakku yang pertama hanya sampai tingkat pendidikan SLTP. Sedangkan tiga kakakku yang lain hanya sampai SMEA (sekarang SMK). Aku sangat bersyukur, kakak-kakakku justru mendorongku untuk terus sekolah, melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Mereka tidak cemburu, tidak iri. Aku menjadi semakin semangat menuntut ilmu. Tahun 1997, aku dinyatakan diterima di UNY (Universitas Negeri Yogyakarta). Uang sakuku, sampai tahun 2002, hanya sebesar Rp 2000, 00. Uang itu hanya cukup untuk biaya transportasi. Untuk berhemat, aku membawa air putih dan makanan dari rumah. Untungnya, selama mahasiswa aku mendapatkan beasiswa yang bagiku sangat membantu. Dengan beasiswa itu, aku mencukupi kebutuhanku: membeli buku. Dan kadang, aku membeli baju dengan uang beasiswa tersebut. Maklum, Ayahku biasa memberi uang untuk beli baju setahun sekali, kala lebaran. Lucu, seperti anak kecil saja. Untuk kuliah, kadang aku pinjam baju dari kakakku nomer empat yang badannya seukuran denganku. Kadang-kadang aku juga menulis puisi atau cerpen. Honor dari menulis saat itu lumayan bagi mahasiswa sepertiku. Rp 80.000 untuk cerpen sekali muat, dan Rp 20.000 untuk satu puisi yang dimuat.
Pada tahun awal tahun 2002, aku lulus dari S1, kemudian melanjutkan pendidikan gelar ganda untuk mendapatkan akta mengejar dan gelar sarjana pendidikan di universitas yang sama. Saat-saat itu, adalah saat yang cukup sulit untuk keluarga. Sampai tahun 2002, uang sakuku masih Rp 2000, 00. Hanya kadang-kadang saja, Ibu memberi uang saku Rp 4000, 00, jika aku kuliah sampai sore. Pernah, kami makan hanya dengan sambal tempe.
Kuliah S1 ku yang kedua ini juga penuh dengan ujian. Untuk membayar SPP, aku sampai menghutang kepada salah seorang kawan. Yang untungnya, dia sangat baik hati, bahkan tidak memintaku untuk membayar hutang tersebut. Menjelang akhir tahun 2002, di universitas tempatku menuntut ilmu ada tawaran menjadi tenaga pengajar (PNS). Aku pun mendaftar.
Orang tuaku sangat mendukung. Mereka membelikanku buku-buku latihan TPA. Aku terbiasa bangun malam untuk tahajud, kemudian mempelajari kembali soal-soal TPA yang siangnya sudah kupelajari sepulang kuliah. Sering kali aku tertidur di lantai setelah belajar soal-soal itu. Pernah, aku jadi sakit gara-gara tidur di lantai.
Usaha dan dukungan keluargaku tak sia-sia. Desember 2002, aku diangkat sebagai CPNS. Satu tahun berikutnya, aku sudah menjadi PNS. Tahun 2005 kemarin, aku melanjutkan kuliah S2 di Ilmu Sastra UGM dan selesai pada tahun 2007. Aku kuliah S2 dengan mendapatkan beasiswa BPPS dari DIKTI. April 2008 ini, aku kembali mendaftar sebagai mahasiswa S3 di UGM, dengan beasiswa BPPS DIKTI juga. Alhamdulillah, diterima. Kini aku menjadi mahasiswa S3. Selagi masih muda, aku ingin menuntut ilmu sebanyak-banyaknya.
Sebenarnya, ingin juga aku bisa kuliah di luar negeri. Apalagi, di universitas tempatku mengajar, dosen-dosen yang skor ITP-nya tinggi mendapatkan prioritas dan senantiasa didorong untuk kuliah di luar negeri. Namun, aku ingin menjadi seorang perempuan yang bisa balance dalam mengatur karir dan kewajibanku sebagai seorang ibu dan isteri. Sejak menikah tahun 2003 lalu, aku telah memperoleh anak perempuan yang saat ini berusia 4 tahun 4 bulan. Aku tidak ingin melewatkan perkembangan anakku. Aku ingin bisa hadir dalam setiap momen penting dalam hidupnya. Rasanya bahagia sekali, bisa bekerja sekaligus menemani anak.
Aku menikah dengan kawan sewaktu kuliah dulu yang sekarang bekerja sebagai seorang desainer grafis dan mengajar di sebuah Madrasah Aliyah (setara SMA). Untungnya, suami senantiasa mendukung karirku. Meskipun dia hanya kuliah S1, tapi dia tak pernah merasa cemburu atas apa yang telah diraih oleh isterinya. Ada lho, suami yang cemburu atas kemajuan karir isterinya.
Aku sangat bersyukur atas apa yang telah kuperoleh selama ini. Semuanya, tak akan bisa kuraih jika tak ada keluarga besar yang berusaha keras untuk membantu mewujudkan pendidikanku. Mereka tak segan bekerja keras, untuk melihat salah satu anak mereka menjadi sarjana. Saat ini, aku hanya mempunyai satu keinginan. Aku ingin Ayah bisa melihatku menjadi seorang doktor. Ayahku saat ini mengidap penyakit jantung koroner. Semoga, apa yang kulakukan selama ini, bisa membuat orang tuaku bahagia dan bangga. Dan keilmuan yang kudapat, bisa bermanfaat bagi mahasiswa, masyarakat, dan negara.
Pada setiap mahasiswa baru, aku tak pernah malu untuk bercerita bahwa aku berasal dari keluarga buruh. Aku ingin mahasiswaku tetap semangat dan optimis dalam menuntut ilmu, meski mereka bukan berasal dari keluarga yang ekonominya mampu. Karena dengan keterampilan dan pendidikan lah, mereka bisa merubah nasib. Aku yakin itu.

Selasa, 17 Maret 2009

Semangat Cinta Buku dan Perpustakaan: Virus yang Harus Disebarkan

Saya lahir dari keluarga buruh. Bapak saya dahulu adalah seorang sopir di hotel, sedangkan ibu seperti halnya ibu rumah tangga lainnya, tidak bekerja dan mengurus keluarga di rumah. Saya anak bungsu dari lima bersaudara. Bisa dibayangkan bagaimana kehidupan kami sekeluarga. Untungnya, bapak masih bisa menyekolahkan kami berlima, meski dengan kesederhanaan. Saya ingat betul, kami hanya mampu membeli buku bekas, kecuali buku tersebut tidak ada dan terpaksa harus membeli yang baru. Jadi, buku-buku yang kami miliki biasanya ada nama pemiliknya terdahulu dan sudah ada coretannya. Kala itu, buku pelajaran bisa digunakan selama bertahun-tahun, tidak seperti sekarang ini. Jadi, jika kakak saya memiliki buku pelajaran, pasti akan diwariskan kepada kami, adik-adiknya.
Sejak berumur 5 tahun, saya sudah bisa membaca. Saya sangat mensyukuri semangat baca sejak kecil dulu. Tak hanya buku pelajaran saya saja yang saya baca. Buku-buku pelajaran kakak saya termasuk daftar bacaan yang saya lahap. Hingga pernah, kakak saya sewot karena buku yang akan digunakan untuk belajar saya bajak karena ingin membacanya.
Akses buku di perpustakaan sekolah waktu SD sangat minim. Untuk meminjam buku, kami harus antri. Dan, harus menerima dengan legawa jika buku yang hendak dibaca sudah dipinjam oleh siswa lainnya. Keterbatasan itu tak pernah mematahkan semangat saya untuk terus meminjam dan membaca buku di perpustakaan. Untungnya, di rumah, ada pula anak yang baik hati menyewakan majalahnya (kala itu BOBO) dengan membayar Rp 50,- untuk satu majalah. Selain itu, di dekat masjid kampung, juga ada yang menyewakan buku bacaan. Saya paling gemar cerita Tin Tin. Uang jajan saya selalu habis untuk meminjam buku. Saking pengennya bisa meminjamkan buku, saya pernah ikut membuka perpustakaan. Isinya? Buku-buku pelajaran dan beberapa buku tua milik bapak saya. Bagaimana lagi? Hanya buku-buku itu yang saya punya. Hihihi....
Saya juga pernah membuat “majalah” yang isinya mirip seperti majalah BOBO. Sebenarnya, dikatakan majalah juga tidak tepat. Karena, ukuran kertasnya hanya 1/8 ukuran kertas folio. Maklum, untuk membeli kertas folio, saya harus merelakan uang jajan saya. Saya dulu biasa menggunakan kertas pembungkus teh untuk corat-coret tatkala berhitung. (Hemat dan wangi, euy!) Saya tawarkan “majalah” saya seharga Rp 50,- kepada teman-teman saya. Tak ada yang mau membeli. Ya iya, lah... lebih baik menyewa majalah aslinya daripada membeli “majalah” saya yang tak berwarna, dan gambarnya hasil coretan tangan saya sendiri yang, yah, ala kadarnya gitu... Sampai sekarang, saya masih ingat betul peristiwa itu.
Prestasi sebagai empat besar di SD membawa saya ke salah satu SMP negeri di Yogyakarta. Sejak SD, saya selalu berjalan kaki ke sekolah. Demikian pula ketika SMP. Jarak dua kilo saya tempuh dengan jalan kaki, pulang-pergi. Waktu itu, tahun 1991, bekal saya hanya Rp 300, 00. Hanya cukup untuk beli es dan makanan kecil ala kadarnya. Saya sangat senang ketika duduk di bangku SMP. Perpustakaannya memiliki koleksi bacaan yang lumayan banyak. Saya tidak harus “rebutan” meminjam buku dengan teman-teman lainnya seperti ketika SD dulu. Cerita-cerita detektif, seperti karya Enid Blyton, habis saya baca ketika duduk di bangku kelas 1 SMP. Kunjungan ke perpustakaan adalah jadwal rutin ketika uang cekak karena tak bisa jajan di kantin. Sedih memang, tetapi tetap menyenangkan karena dengan berkunjung ke perpustakaan saya mendapatkan banyak ilmu dan pengetahuan yang beragam.
Perpustakaan juga menjadi tempat favorit ketika duduk di bangku SMA. Di salah satu SMA negeri (saat SMP, saya termasuk lima besar di sekolahan yang terdiri dari 4 kelas atau kurang lebih terdiri dari 200 murid). Alhamdulillah... keluarga saya sangat bersyukur sekali, sejak SD hingga SMA saya bisa bersekolah di sekolah negeri. Bersekolah di sekolahan negeri sangat membantu keluarga yang kala itu ekonominya sudah menjadi agak sulit. Di perpustakaan SMA itu, saya membaca semua buku-buku karya Agatha Christie. Novel karya Agatha Christie yang paling berkesan untuk saya adalah 10 Anak Negro dan Gajah Tak Pernah Lupa. Hercule Poirot dan Miss Marple adalah tokoh imajinatif yang menjadi idola saya.
Saya beruntung karena bisa mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, tidak seperti keempat kakak saya yang hanya sampai di bangku SMA. Mereka umumnya bekerja setelah menamatkan SMA. Untuk memenuhi buku-buku teks selama kuliah, perpustakaan menjadi penyelamat. Hampir setiap hari, saya ke perpustakaan dengan membawa bolpen dan catatan karena peminjaman hanya diperbolehkan maksimal dua buku.
Saya juga memanfaatkan perpustakaan pemerintahan daerah untuk keperluan studi. Dengan mengendarai sepeda motor bekas yang dibelikan oleh Bapak, saya menghabiskan waktu di perpustakaan bila tak ada jam kuliah. Jika tidak di Badran, perpustakaan daerah di Malioboro menjadi jujugan saya. Diusir penjaga yang hendak menutup perpustakaan sering saya alami.
Semasa menjadi mahasiswa, saya aktif di Unit Studi Sastra dan Teater (UNSTRAT) UNY dan pernah menjabat sebagai Koordinator Penelitian dan Pengembangan (LITBANG). Salah satu program kerja saya kala itu adalah penataan dan pengaturan (regulasi) peminjaman buku-buku dan naskah drama koleksi UNSTRAT.
Pertengahan 2002 saya berhasil menyelesaikan studi S1. Pada Desember 2002, saya diterima menjadi CPNS (dosen) di almamater. September 2003, saya menikah dengan teman di UNSTRAT dari jurusan Pendidikan Seni Rupa di FBS UNY. Suami tahu betul betapa cintanya saya pada buku dan perpustakaan. Mengapa? Karena, ketika kami menjadi pengantin baru dan mendapatkan libur yang semestinya untuk bulan madu, kami gunakan untuk berkunjung ke perpustakaan. Jadi, bulan madu kami adalah kunjungan dari perpustakaan ke perpustakaan. Saat ini, ada lima perpustakaan (daerah, swasta, institusi tempat mengajar, maupun kampus tempat saya kini melanjutkan studi S3) yang menjadi tempat jujugan saya.
Saya punya keinginan, jika suatu saat nanti sudah pensiun dari mengajar, saya ingin membuka perpustakaan sendiri. Buku dan perpustakaan telah menjadi bagian dari hidup saya. Buku dan perpustakaan membuat hidup menjadi lebih berarti. Semangat cinta buku dan perpustakaan adalah virus yang harus disebarkan pada semua orang, semua generasi.


Salah Satu Perkara yang Perlu Diingat: Sehat Sebelum Sakit


Sungguh, sakit itu tidak enak. Aktivitas kita bisa jadi tak berjalan dengan lancar. Jadwal kita bisa jadi tak karuan. Sekarang, kerasa bener petuah bijak "ingat lima perkara, sebelum lima perkara...." Salah satunya adalah, perlunya menjaga kesehatan sebelum tiba masa sakit. Tapi kita ini, kadang alpa. Dengan alasan dikejar kebutuhan, aktivitas, kegiatan, kesehatan diabaikan. Kalau pas sakit, baru kerasa deh... Betapa nikmatnya orang yang sehat...


Sakit itu, kini sedang saya alami. Kelihatannya cuma flu biasa, tapi alamak... sungguh tidak enak. Tenggorokan sakit, kepala pening, ingus yang mengganggu, badang yang meriang. Sungguh tidak enak. Apalagi, lidah tak bisa lagi merasakan kenikmatan kuliner. Penciuman juga jadi terganggu. Tak bisa lagi membaui. Tapi ini ada untungnya, kalau ada bau kentut atau sampah busuk, saya jadi tak merasainya. Lumayan.. Celakanya, tak hanya bau sampah atau keirngat asem atau kentut yang hilang dari indera penciuman saya, melainkan juga bau parfum, bau masakan, dan bau badan anak saya yang seperti aromatic therapy.


Musim kemarau. Tapi jika anda flu seperti saya sekarang ini, Anda tak akan lagi merasakan panas mentari. Bahkan dengan jaket tebal yang dikancingkan, berkaos tangan, mengenakan masker, dan berjemur di pepanasan, dingin itu masih terasa. Menggigil.


Namun, dalam badan yang sakit ini, Tuhan seolah ingin memberikan pencerahan. Saya seperti diingatkan, untuk mensyukuri hidup yang telah diberikan. Barang kali, sakit ini adalah bentuk teguran atau wujud kasih sayang. Agar saya bisa mensyukuri semua nikmat pemberiannya dengan menjaga kesehatan. Agar saya ingat kepadaNya, karena dengan sakit ini saya akan beristirahat dan memikirkan apa yang telah atau belum saya perbuat. Rasa nikmat yang dicabut sementara selama sakit -tak bisa merasakan masakan enak, tak bisa mencium bebauan yang sedap- barangkali adalah peringatan kecil yang diberikan olehNya. Bagaimana seandainya semua nikmat itu dimintaNya kembali?


Tuhan, kau telah tunjukkan kasih dan perhatianMu dengan memberiku kesempatan untuk merenungkan lagi perjalanan dengan rasa sakit.

Sabtu, 14 Maret 2009

Ode Perempuan

Telah kutinggalkan sekeping kelaminku
Pada batu kali. Biar sesekali terkena
Cipak air. Tak ada yang perlu disesal
Kecuali melihat burung burung nazar
Mengerubutinya
Seperti pengemis di pelataran masjid
Pada hari jum’at

Pedang terhunus di dedahan

Ini nyeri seorang perempuan:
Merelakan kelamin jadi santapan
Birahi para
Nazar yang baru berpuasa
Setengah hari lamanya
Menjadi berdarah dan nanah
Ketika tak saja kelamin
Dihargai sebagai
Cemoohan
juga hati yang nangis jika
malam malam sepi berkunjung
dan suara tuhan
membisik pelan


Krapyak, 1423 H