Selasa, 24 Maret 2009

Menanti Telepon


Pandangan mata Boni tak juga beralih dari telepon yang terletak di atas meja. Kalau tak salah, sekarang tanggal 28 Oktober. Hari yang dinanti. Apakah mungkin dia salah baca? Segera, Boni berlari menuju kamarnya. Pintu kamar ditutup keras. Suara Mama di dapur mengingatkan Boni untuk menutupnya pelan-pelan. Boni berteriak minta maaf dari kamar.
Tangan Boni sibuk membolak-balik tumpukan kertas yang ada di atas meja. Kini, kamar Boni seperti terkena puting-beliung. Berantakan. Tiba-tiba pintu kamar dibuka. Mama datang dan memandang suasana kamar Boni dengan mata terbelalak.
”Oh, Mama..jangan marah dulu. Ada kertas penting yang Boni perlukan. Sekarang Mama balik lagi aja ke dapur, deh! Nanti kalau Boni sudah selesai menata, Mama boleh balik ke sini lagi.” Boni memegang tangan Mama dan menuntunnya ke luar kamar. Belum sempat Mama berbicara, Boni sudah menghilang ke kamar dan menutup pintunya. Kali ini lebih pelan.
Boni bingung. Di mana dia menaruh kertas itu, ya? Sekarang, Boni merasa benar-benar telah teledor. Karena capek dan tak yakin akan menemukannya, Boni memutuskan untuk tak lagi mencari kertas itu. Nanti juga ketemu sendiri, pikirnya. Beberapa waktu sebelum Mama melakukan kunjungan mendadak ke kamar, Boni telah membereskan semua kekacauan di kamarnya.
”Kamu cari apa, sih, Bon?” tanya Mama sambil melihat ke sekeliling kamar yang sekarang sudah rapi.
Ah, bagaimana Boni harus menjelaskan pada Mama jika dia mencari selembar kertas. Bukan sembarang kertas! Kertas berisi informasi mengenai lomba menulis yang dia ikuti. Di kertas itu, ada informasi kapan pengumuman pemenang lomba akan disampaikan kepada para peserta lomba. Selain itu, ada alamat dan nomor telpon yang bisa dihubungi untuk mengetahui apakah seorang peserta menjadi pemenang dalam lomba itu.
Mama mengangguk-angguk mendengar penjelasan Boni, lalu berkata, ”Mama senang kamu mengikuti lomba itu. Dan, hei, kalaupun kamu belum menjadi pemenangnya, tidak apa-apa. Sudah bisa dan berani menulis itu adalah permulaan yang bagus. Jika sering berlatih menulis, maka kamu akan semakin lihai dan terampil. Siapa tahu jika besok ada lomba menulis lagi, dan kebetulan kau mengikutinya, maka kau bisa menjadi salah satu pemenangnya?”
Boni menggaruk-garuk kepalanya. Oh, seandainya Mama tahu. Ini bukan yang pertama kalinya Boni mengikuti lomba menulis cerita. Dari sekian lomba, selama ini Boni lebih sering was-was menunggu telepon berdering. Mengapa belum ada satu telepon pun untuk Boni?
Suara telepon berdering mengagetkan Boni. Mama telah mengangkatnya. Jantung Boni semakin berdetak kencang. Akhirnya tiba juga telepon itu! Segera, Boni berlari dan merebut gagang telepon dari tangan Mama.
”Iya, Boni Prasetya di sini. Ini dari siapa, ya?” tanya Boni bersemangat.
Oh, ternyata Nyoman yang telepon.... mengabarkan pada Boni bahwa dirinya menang lomba menulis. Boni merasa lemas tapi mencoba tetap ceria dan tak lupa mengucapkan selamat kepada Nyoman. Mama tak henti memandang Boni yang saat ini tengah melamun.
”Bon.....”
Boni menengok ke arah mama.
“Apa kau akan berhenti menulis cerita, dan tak akan lagi mengikuti lomba menulis jika kau tak juga menerima telepon bahwa kau menjadi salah satu juaranya?”
Boni diam, menimbang-nimbang perkataan Mama. Apa sebaiknya begitu? Rasanya capek menunggu telepon terus. Sayang juga kalau tak mau menulis gara-gara tak pernah menang lomba. Karena, Boni mulai menyukai kegiatan tulis-menulis. Dia menjadi bebas mengekspresikan semua pikiran dan perasaannya. Dia bisa menulis semua pengalamannya. Tapi, buat apa menulis jika tak pernah jadi pemenang?
Boni ingat, saat ini buku tulisnya telah penuh dengan coretan-coretannya. Coretan yang dibuatnya ketika dia merasa sedih, senang, kecewa, marah, atau penasaran pada semua hal yang ia temui. Pada Papa yang tak jadi mengajaknya berlibur ke Ancol. Pada Bu Guru Anik yang memberinya hadiah bolpoin dalam kuis di pelajaran sejarah. Pada Syam yang saat ini mewakili sekolahnya dalam Olimpiade Fisika. Pada cerita dan pengalaman Nenek yang baru saja pulang dari tanah suci Mekah.
Apakah Boni akan meninggalkan pena dan membiarkan bukunya kosong tak ada coretannya? Rasanya sungguh sayang. Boni menggeleng. Aku tidak boleh menanggalkan pena.
”Tidak, Ma..... Boni tak akan berhenti menulis. Meski Boni belum juga menerima telpon dari panitia lomba,” bisik Boni.

Tidak ada komentar: