Rabu, 18 Maret 2009

Mengubah Nasib dengan Pendidikan


Aku meyakini bahwa pendidikan dapat mengubah nasib orang. Bukankah kemerdekaan bangsa ini juga adalah hasil dari keringat para intelektual muda lewat jalur pendidikan? Aku meyakini semua orang bisa memperoleh pendidikan, jika bersungguh-sungguh mengusahakannya. Tak peduli meski dari keluarga tak mampu sekalipun. Siapa yang mengira dari keluarga buruh, seperti keluargaku, bisa memiliki anak yang sedang menempuh S3, menjadi kandidat doktor? Ini bukan mimpi.
Aku besar dalam keluarga pas-pasan. Kami lima bersaudara. Aku adalah anak bungsu. Ayahku menghidupi keluarga dengan bekerja sebagai sopir taksi. Ayah tidak memiliki mobil. Jadi praktis, dia hanya seorang buruh. Ibuku seperti layaknya ibu-ibu lain di tempat kampungku tumbuh, seorang ibu rumah tangga. Untungnya, ibu kadang mendapat sambilan dengan bekerja sebagai tukang jahit souvenir tepas (kipas) dari kulit. Tahun 1997, untuk 1 dusin kipas yang dijahit, ibu mendapat upah Rp 300, 00. Dalam satu hari, jika ada kipas kulit yang dijahit, ibu bisa mendapatkan upah antara Rp 6000 – Rp 9.000, 00. Pendapatan ini, meski pas-pasan, cukup untuk membantu ayah. Terutama untuk tambahan biaya pendidikan.
Dalam keluarga, hanya aku yang bisa meraih pendidikan sarjana. Kakakku yang pertama hanya sampai tingkat pendidikan SLTP. Sedangkan tiga kakakku yang lain hanya sampai SMEA (sekarang SMK). Aku sangat bersyukur, kakak-kakakku justru mendorongku untuk terus sekolah, melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Mereka tidak cemburu, tidak iri. Aku menjadi semakin semangat menuntut ilmu. Tahun 1997, aku dinyatakan diterima di UNY (Universitas Negeri Yogyakarta). Uang sakuku, sampai tahun 2002, hanya sebesar Rp 2000, 00. Uang itu hanya cukup untuk biaya transportasi. Untuk berhemat, aku membawa air putih dan makanan dari rumah. Untungnya, selama mahasiswa aku mendapatkan beasiswa yang bagiku sangat membantu. Dengan beasiswa itu, aku mencukupi kebutuhanku: membeli buku. Dan kadang, aku membeli baju dengan uang beasiswa tersebut. Maklum, Ayahku biasa memberi uang untuk beli baju setahun sekali, kala lebaran. Lucu, seperti anak kecil saja. Untuk kuliah, kadang aku pinjam baju dari kakakku nomer empat yang badannya seukuran denganku. Kadang-kadang aku juga menulis puisi atau cerpen. Honor dari menulis saat itu lumayan bagi mahasiswa sepertiku. Rp 80.000 untuk cerpen sekali muat, dan Rp 20.000 untuk satu puisi yang dimuat.
Pada tahun awal tahun 2002, aku lulus dari S1, kemudian melanjutkan pendidikan gelar ganda untuk mendapatkan akta mengejar dan gelar sarjana pendidikan di universitas yang sama. Saat-saat itu, adalah saat yang cukup sulit untuk keluarga. Sampai tahun 2002, uang sakuku masih Rp 2000, 00. Hanya kadang-kadang saja, Ibu memberi uang saku Rp 4000, 00, jika aku kuliah sampai sore. Pernah, kami makan hanya dengan sambal tempe.
Kuliah S1 ku yang kedua ini juga penuh dengan ujian. Untuk membayar SPP, aku sampai menghutang kepada salah seorang kawan. Yang untungnya, dia sangat baik hati, bahkan tidak memintaku untuk membayar hutang tersebut. Menjelang akhir tahun 2002, di universitas tempatku menuntut ilmu ada tawaran menjadi tenaga pengajar (PNS). Aku pun mendaftar.
Orang tuaku sangat mendukung. Mereka membelikanku buku-buku latihan TPA. Aku terbiasa bangun malam untuk tahajud, kemudian mempelajari kembali soal-soal TPA yang siangnya sudah kupelajari sepulang kuliah. Sering kali aku tertidur di lantai setelah belajar soal-soal itu. Pernah, aku jadi sakit gara-gara tidur di lantai.
Usaha dan dukungan keluargaku tak sia-sia. Desember 2002, aku diangkat sebagai CPNS. Satu tahun berikutnya, aku sudah menjadi PNS. Tahun 2005 kemarin, aku melanjutkan kuliah S2 di Ilmu Sastra UGM dan selesai pada tahun 2007. Aku kuliah S2 dengan mendapatkan beasiswa BPPS dari DIKTI. April 2008 ini, aku kembali mendaftar sebagai mahasiswa S3 di UGM, dengan beasiswa BPPS DIKTI juga. Alhamdulillah, diterima. Kini aku menjadi mahasiswa S3. Selagi masih muda, aku ingin menuntut ilmu sebanyak-banyaknya.
Sebenarnya, ingin juga aku bisa kuliah di luar negeri. Apalagi, di universitas tempatku mengajar, dosen-dosen yang skor ITP-nya tinggi mendapatkan prioritas dan senantiasa didorong untuk kuliah di luar negeri. Namun, aku ingin menjadi seorang perempuan yang bisa balance dalam mengatur karir dan kewajibanku sebagai seorang ibu dan isteri. Sejak menikah tahun 2003 lalu, aku telah memperoleh anak perempuan yang saat ini berusia 4 tahun 4 bulan. Aku tidak ingin melewatkan perkembangan anakku. Aku ingin bisa hadir dalam setiap momen penting dalam hidupnya. Rasanya bahagia sekali, bisa bekerja sekaligus menemani anak.
Aku menikah dengan kawan sewaktu kuliah dulu yang sekarang bekerja sebagai seorang desainer grafis dan mengajar di sebuah Madrasah Aliyah (setara SMA). Untungnya, suami senantiasa mendukung karirku. Meskipun dia hanya kuliah S1, tapi dia tak pernah merasa cemburu atas apa yang telah diraih oleh isterinya. Ada lho, suami yang cemburu atas kemajuan karir isterinya.
Aku sangat bersyukur atas apa yang telah kuperoleh selama ini. Semuanya, tak akan bisa kuraih jika tak ada keluarga besar yang berusaha keras untuk membantu mewujudkan pendidikanku. Mereka tak segan bekerja keras, untuk melihat salah satu anak mereka menjadi sarjana. Saat ini, aku hanya mempunyai satu keinginan. Aku ingin Ayah bisa melihatku menjadi seorang doktor. Ayahku saat ini mengidap penyakit jantung koroner. Semoga, apa yang kulakukan selama ini, bisa membuat orang tuaku bahagia dan bangga. Dan keilmuan yang kudapat, bisa bermanfaat bagi mahasiswa, masyarakat, dan negara.
Pada setiap mahasiswa baru, aku tak pernah malu untuk bercerita bahwa aku berasal dari keluarga buruh. Aku ingin mahasiswaku tetap semangat dan optimis dalam menuntut ilmu, meski mereka bukan berasal dari keluarga yang ekonominya mampu. Karena dengan keterampilan dan pendidikan lah, mereka bisa merubah nasib. Aku yakin itu.

Tidak ada komentar: