Selasa, 17 Maret 2009

Semangat Cinta Buku dan Perpustakaan: Virus yang Harus Disebarkan

Saya lahir dari keluarga buruh. Bapak saya dahulu adalah seorang sopir di hotel, sedangkan ibu seperti halnya ibu rumah tangga lainnya, tidak bekerja dan mengurus keluarga di rumah. Saya anak bungsu dari lima bersaudara. Bisa dibayangkan bagaimana kehidupan kami sekeluarga. Untungnya, bapak masih bisa menyekolahkan kami berlima, meski dengan kesederhanaan. Saya ingat betul, kami hanya mampu membeli buku bekas, kecuali buku tersebut tidak ada dan terpaksa harus membeli yang baru. Jadi, buku-buku yang kami miliki biasanya ada nama pemiliknya terdahulu dan sudah ada coretannya. Kala itu, buku pelajaran bisa digunakan selama bertahun-tahun, tidak seperti sekarang ini. Jadi, jika kakak saya memiliki buku pelajaran, pasti akan diwariskan kepada kami, adik-adiknya.
Sejak berumur 5 tahun, saya sudah bisa membaca. Saya sangat mensyukuri semangat baca sejak kecil dulu. Tak hanya buku pelajaran saya saja yang saya baca. Buku-buku pelajaran kakak saya termasuk daftar bacaan yang saya lahap. Hingga pernah, kakak saya sewot karena buku yang akan digunakan untuk belajar saya bajak karena ingin membacanya.
Akses buku di perpustakaan sekolah waktu SD sangat minim. Untuk meminjam buku, kami harus antri. Dan, harus menerima dengan legawa jika buku yang hendak dibaca sudah dipinjam oleh siswa lainnya. Keterbatasan itu tak pernah mematahkan semangat saya untuk terus meminjam dan membaca buku di perpustakaan. Untungnya, di rumah, ada pula anak yang baik hati menyewakan majalahnya (kala itu BOBO) dengan membayar Rp 50,- untuk satu majalah. Selain itu, di dekat masjid kampung, juga ada yang menyewakan buku bacaan. Saya paling gemar cerita Tin Tin. Uang jajan saya selalu habis untuk meminjam buku. Saking pengennya bisa meminjamkan buku, saya pernah ikut membuka perpustakaan. Isinya? Buku-buku pelajaran dan beberapa buku tua milik bapak saya. Bagaimana lagi? Hanya buku-buku itu yang saya punya. Hihihi....
Saya juga pernah membuat “majalah” yang isinya mirip seperti majalah BOBO. Sebenarnya, dikatakan majalah juga tidak tepat. Karena, ukuran kertasnya hanya 1/8 ukuran kertas folio. Maklum, untuk membeli kertas folio, saya harus merelakan uang jajan saya. Saya dulu biasa menggunakan kertas pembungkus teh untuk corat-coret tatkala berhitung. (Hemat dan wangi, euy!) Saya tawarkan “majalah” saya seharga Rp 50,- kepada teman-teman saya. Tak ada yang mau membeli. Ya iya, lah... lebih baik menyewa majalah aslinya daripada membeli “majalah” saya yang tak berwarna, dan gambarnya hasil coretan tangan saya sendiri yang, yah, ala kadarnya gitu... Sampai sekarang, saya masih ingat betul peristiwa itu.
Prestasi sebagai empat besar di SD membawa saya ke salah satu SMP negeri di Yogyakarta. Sejak SD, saya selalu berjalan kaki ke sekolah. Demikian pula ketika SMP. Jarak dua kilo saya tempuh dengan jalan kaki, pulang-pergi. Waktu itu, tahun 1991, bekal saya hanya Rp 300, 00. Hanya cukup untuk beli es dan makanan kecil ala kadarnya. Saya sangat senang ketika duduk di bangku SMP. Perpustakaannya memiliki koleksi bacaan yang lumayan banyak. Saya tidak harus “rebutan” meminjam buku dengan teman-teman lainnya seperti ketika SD dulu. Cerita-cerita detektif, seperti karya Enid Blyton, habis saya baca ketika duduk di bangku kelas 1 SMP. Kunjungan ke perpustakaan adalah jadwal rutin ketika uang cekak karena tak bisa jajan di kantin. Sedih memang, tetapi tetap menyenangkan karena dengan berkunjung ke perpustakaan saya mendapatkan banyak ilmu dan pengetahuan yang beragam.
Perpustakaan juga menjadi tempat favorit ketika duduk di bangku SMA. Di salah satu SMA negeri (saat SMP, saya termasuk lima besar di sekolahan yang terdiri dari 4 kelas atau kurang lebih terdiri dari 200 murid). Alhamdulillah... keluarga saya sangat bersyukur sekali, sejak SD hingga SMA saya bisa bersekolah di sekolah negeri. Bersekolah di sekolahan negeri sangat membantu keluarga yang kala itu ekonominya sudah menjadi agak sulit. Di perpustakaan SMA itu, saya membaca semua buku-buku karya Agatha Christie. Novel karya Agatha Christie yang paling berkesan untuk saya adalah 10 Anak Negro dan Gajah Tak Pernah Lupa. Hercule Poirot dan Miss Marple adalah tokoh imajinatif yang menjadi idola saya.
Saya beruntung karena bisa mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, tidak seperti keempat kakak saya yang hanya sampai di bangku SMA. Mereka umumnya bekerja setelah menamatkan SMA. Untuk memenuhi buku-buku teks selama kuliah, perpustakaan menjadi penyelamat. Hampir setiap hari, saya ke perpustakaan dengan membawa bolpen dan catatan karena peminjaman hanya diperbolehkan maksimal dua buku.
Saya juga memanfaatkan perpustakaan pemerintahan daerah untuk keperluan studi. Dengan mengendarai sepeda motor bekas yang dibelikan oleh Bapak, saya menghabiskan waktu di perpustakaan bila tak ada jam kuliah. Jika tidak di Badran, perpustakaan daerah di Malioboro menjadi jujugan saya. Diusir penjaga yang hendak menutup perpustakaan sering saya alami.
Semasa menjadi mahasiswa, saya aktif di Unit Studi Sastra dan Teater (UNSTRAT) UNY dan pernah menjabat sebagai Koordinator Penelitian dan Pengembangan (LITBANG). Salah satu program kerja saya kala itu adalah penataan dan pengaturan (regulasi) peminjaman buku-buku dan naskah drama koleksi UNSTRAT.
Pertengahan 2002 saya berhasil menyelesaikan studi S1. Pada Desember 2002, saya diterima menjadi CPNS (dosen) di almamater. September 2003, saya menikah dengan teman di UNSTRAT dari jurusan Pendidikan Seni Rupa di FBS UNY. Suami tahu betul betapa cintanya saya pada buku dan perpustakaan. Mengapa? Karena, ketika kami menjadi pengantin baru dan mendapatkan libur yang semestinya untuk bulan madu, kami gunakan untuk berkunjung ke perpustakaan. Jadi, bulan madu kami adalah kunjungan dari perpustakaan ke perpustakaan. Saat ini, ada lima perpustakaan (daerah, swasta, institusi tempat mengajar, maupun kampus tempat saya kini melanjutkan studi S3) yang menjadi tempat jujugan saya.
Saya punya keinginan, jika suatu saat nanti sudah pensiun dari mengajar, saya ingin membuka perpustakaan sendiri. Buku dan perpustakaan telah menjadi bagian dari hidup saya. Buku dan perpustakaan membuat hidup menjadi lebih berarti. Semangat cinta buku dan perpustakaan adalah virus yang harus disebarkan pada semua orang, semua generasi.


Tidak ada komentar: